Perkembangan Sejarah setelah Mengenal Tulisan - Berikut ini merupakan Artikel Lengkap yang membahas tentang Perkembangan Sejarah setelah Mengenal Tulisan, dan di dalamnya juga akan di jelaskan mengenai Sejarah Tulisan, Tradisi Tulis di Dalam Istana,Tradisi Tulis di Luar Istana yang meliputi Tradisi Tulis di Bali, Tradisi Tulis di Sumatera Selatan, Tradisi Tulis di Jawa Barat, Tradisi Tulis di Sulawesi Selatan.
Yupa tersebut ditengarai peninggalan dari kutai. Bahasa yang digunakan pada Yupa adalah bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa.
Bahasa Sanskerta dan Huruf Pallawa dari India mulai mengalami perubahan. Penduduk indonesia mengembangkan bahasa sakskerta dan huruf pallawa menjadi bahasa dan huruf jawa kuno.
Walaupun bahasa saskerta dan huruf pallawa berpengaruh terhadap perkembangan bahasa, tulisan, dan seni sastra indonesia, tetapi tidak pernah digunakan sebagai bahasa komunikasi antarkelompok.
Hal tersebut dikarenakan bahasa Sanskerta merupakan bahasa Brahmana sehingga hanya dipakai sebagai bahasa didalam kalangan Brahmana dan Istana saja.
Melalui tulisan, ide-ide dan pikiran manusia dapat dikomunikasikan secara langsung atau tidak langsung kepada generasi penerus.
Pada awalnya, tradisi tulisan berkembang di lingkungan istana untuk mencatat peristiwa-peristiwa penting dalam kerajaan, surat-menyurat kerajaan, peraturan dan perintah raja serta penulisan karya sastra.
Contoh peninggalan sejarah sebagai bukti munculnya tradisi tulisan di istana adalah prasasti atau inskripsi dan karya sastra.
Contoh tradisi penulsan prasasti yang berkembang pada masa Hindu-Buddha adalah Prasasti Tarumanegara.
Contoh lainnya adalah inskripsi pada Prasasti Kota Kapur (zaman Sriwijaya abad ke-7) yang ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti berperan penting dalam menggambarkan sumbangan kerajaan di bidang keagamaan.
Prasasti yang ditemukan di Indonesia, umumnya menggunakan berbagai bahasa, misalnya : Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Melayu Kuno, dan Bahasa Bali Kuno.
Hal tersebut disebabkan buku-buku dipakai untuk menuliskan karya-karya sastra tersebut masih terbuat dari bahan-bahan yang mudah rusak.
Sebelum ditemukan kertas, masyarakat zaman kuno telah terbiasa menuliskan catatan penting atau karya sastra mereka pada daun lontar atau kropak yang tidak tahan lama dan cepat rusak.
Di samping itu, perubahan politik, peperangan, hancurnya istana, dan kurangnya perhatan akan nilai-nilai kebudayaan tradisional ikut mempercepat proses hilangnya hasil-hasil kesusastraan kuno.
Keadaan tersebut terjadi pada abad ke-7 dan ke-8 di dua buah kerajaan besar, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Mataram di Jawa Tengah.
Adapun karya-karya sastra zaman Hindu yang telah dibukukan adalah karya-karya sastra yang berasal dari masa Kediri sampai Majapahit (abad ke-11 sampai dengan abad ke-16). Pada rentang waktu tersebut, tradisi penulisan karya-karya sastra berkembang sangat pesat.
Pada masa tersebut, Keraton memang menghasilkan banyak pujangga yang menulis karya sastra. Keadaan itu mencapai puncaknya pada masa Kediri (abad ke-11 sampai ke-12).
Di kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah, naskah karya sastra yang ditulis pada daun lontar disebut kesusastraan Parwa.
Salah satunya adalah kekayaan khazanah tradisi tulis yang berkembang di berbagai daerah. Tradisi tulis naskah rakyat tersebut sebagian besar berkembang di daerah yang tidak berada di bawah kekuasaan kerajaan.
Naskah-naskah warisan leluhur tersebut ditulis dengan berbagai aksara dan media. Naskah-naskah kuno tersebut berisi ajaran keagamaan, filsafat, kesusastraan, puisi, drama, sejarah, dan perjanjian hukum.
Naskah-naskah tersebut ditulis menggunakan berbagai huruf. Misalnya, huruf pallawa, huruf Kawi, huruf Jawa, huruf Sumatera Selatan, huruf Sunda kuno, huruf Melayu kuno, huruf sunda Jawa, huruf Batak, huruf Arab gundul, dan huruf Makassar.
Meskipun di beberapa daerah tradisi naskah tradisional telah punah, namun tradisi itu tetap dilestarikan di Bali dan Sulawesi Selatan hingga saat ini. Berikut berbagai tradisi tulis di berbagai daerah di Indonesia.
Tradisi tulis Bali dipengaruhi tradisi tulis masa Kerajaan Majapahit di Jawa. Syair dan prosa mengenai agama dan sejarah yang ditulis di Jawa dialihkan ke Bali pada abad ke-10 sampai abad ke-16.
Sampai abad ke-16 kesusastraan Bali didasarkan atas cerita Ramayana dan Mahabharata. Karya-karya tersebut masih disaln dan dibacakan pada acara mabasan hingga saat ini.
Mulai abad ke-16 diciptakan berbagai naskah bertema keindahan alam, persatuan dengan dewa, perbintangan, pengobatan, penanggalan, silsilah, mantra, syair, dan kisah-kisah keagamaan. Kisah-kisah tersebut ditulis dalam bentuk kidung (nyanyian), geguritan (puisi) dan parikan (pantun).
Di Bali, setiap naskah memiliki dewi pelindung, yaitu Dewi Saraswati (dewi pengetahuan). Setiap hari raya Saraswati (puja Saraswati), semua naskah akan dibersihkan dengan air suci oleh pedanda yang memimpin upacara.
Naskah tertua dari Sumatera Selatan ditulis menggunakan huruf Lampung pada tahun 1630. Saat ini naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Bodleian di Universitas Oxford, Inggris.
Menurut Petrus Voorhoeve, huruf Sumatera Selatan dipengaruhi oleh aksara Jawa. Namun, huruf Jawa tersebut sudah disesuaikan dengan media penulisan naskah.
Huruf Jawa yang cenderung menggunakan garis melengkung diganti menjadi bentuk bersudut. Hal ini disebabkan adanya penyesuaian dengan media tulis berupa bambu dan tanduk.
Tema naskah Sumatera Selatan adalah cerita kepahlawanan, perjanjian hukum, pantun, silsilah, syair mistik Islam, mantra-mantra, syair cinta, dan pengobatan tradisional. Misalnya, teks Saribu Maksa (Buku Seribu Pertanyaan) dan syair cinta gelumpai.
Huruf Sunda Kuno ditemukan pada naskah yang ditulis sebelum abad ke-18. Naskah berhuruf Sunda Jawa mulai digunakan sekitar akhir abad ke-17.
Huruf Arab gundul dipakai pada naskah yang ditulis pada awal abad ke-18. Naskah berhuruf latin mulai ditulis pada akhir abad ke-19.
Naskah tertua dari Sunda ditulis pada abad ke-15 dan abad ke-16. Naskah-naskah tersebut disimpan di Kabuyutan, yaitu pusat kegiatan agama yang menjadi pusat kegiatan intelektual.
Naskah-naskah tersebt antara lain Kunjarakarna, Sanghiyang Hayu, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Amanat dari Galunggung, Sewaka Darma, Carita Parahiyangan, Bujangga Manik, dan Pantun Ramayana.
Setelah agama Islam masuk, berkembang tradisi tulis naskah dalam bahasa Arab gundul. Misalnya, dalam Carita Parahiyangan. Selain itu, terdapat naskah-naskah adaptasi dari karya sastra Melayu.
Misalnya Carita Perang Istambul dan Wawacan Ningrum Kusumah. Wawacan adalah cerita dalam bentuk syair yang dinyanyikan pada acara tertentu.
Pada abad ke-19 mulai ditulis berbagai cerita rakyat tradisional. Hal itu didorong oleh kebijaksanaan pemerintah Belanda untuk memelihara tradisi tulis Sunda.
Caranya dengan penggunaan bahasa Sunda menjadi bahasa tulisan. Beberapa cerita rakyat yang ditulis dalam bentuk naskah adalah Manggung Kusuma, Mundinglaya di Kusuma, Mundingsari Jayamantri, Ciung Wanara, dan Lutung Kasarung.
Setiap suku di Sulawesi Selatan memiliki ragam kesusastraan yang lengkap karena memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda.
Aksara yang dipakai pada tradisi tulis Sulawesi Selatan adalah aksaa Makassa, aksara Bugis, aksara Arab, dan aksara Latin. Di kalangan suku Mandar berkembang tiga tradisi tulis, yaitu pappasang, kalindaqdaq, dan tilapayo.
Pappasang adalah tulisan mengenai nilai-nilai adat istiadat setempat. Kalindaqdaq adalah kumpulan syair empat baris. Tilapayo adalah lagu cinta tradisional.
Tradisi tulis suku Makassar berisi catatan-catatan sejarah Kerajaan Goa, Makassar dan Talo. Catatan sejarah itu disebut patturioloang.
Selain itu, terdapat tradisi tulis lontaraq bilang (catatan harian), rapang (tulisan tentang peraturan adat), rupama (kisah-kisah yang lucu dan menghibur), nyanyian upacara keagamaan, buku hukum, legenda, silsilah, cerita pendek, elong (syair pendek), dan sinrilig (epos kepahlawanan setempat).
Tradisi tulis Makassar telah berkembang dengan sangat maju. Hal itu ditunjukkan dengan adanya sebuah naskah terpanjang di dunia, yaitu epos I La Galigo.
Menurut Robert Wilson, I La Galigo dianggap sebagai kesusastraan terbaik di dunia. Naskah epos kepahlawanan setebal 6.000 halaman tersebut berisi kisah di Kerajaan Luwu pada masa pra-islam.
Tulisan I La Galigo sangat mengedepankan objektivitas dan fakta sejarah. Pada saat ini, naskah I La Galigo tersebut telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Tradisi tulis Makassar lainnya adalah ottoriolong (kronik sejarah), lontaraq bilang (catatan harian), dan toloq (syair sejarah kepahlawanan).
Di Makassar banyak ditulis teks keagamaan dengan mengambil cerita dari Al-Quran. Salah satunya adalah teks tentang ahli sufi abad ke-17, Syekh Yusuf.
Sejarah Tulisan
Tulisan pertama kali dikenal oleh penduduk indonesia sekitar tahun 400 M. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan ditemukan empat tiang batu persembahan (yupa) di Muara Kaman, ditepi Sungai Mahakam, Kutai (Kalimantan Timur).Yupa tersebut ditengarai peninggalan dari kutai. Bahasa yang digunakan pada Yupa adalah bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa.
Bahasa Sanskerta dan Huruf Pallawa dari India mulai mengalami perubahan. Penduduk indonesia mengembangkan bahasa sakskerta dan huruf pallawa menjadi bahasa dan huruf jawa kuno.
Walaupun bahasa saskerta dan huruf pallawa berpengaruh terhadap perkembangan bahasa, tulisan, dan seni sastra indonesia, tetapi tidak pernah digunakan sebagai bahasa komunikasi antarkelompok.
Hal tersebut dikarenakan bahasa Sanskerta merupakan bahasa Brahmana sehingga hanya dipakai sebagai bahasa didalam kalangan Brahmana dan Istana saja.
1. Tradisi Tulis di Dalam Istana
Tradisi Tulis di Dalam Istana Pada masa pra aksara, bahasa lisan merupakan alat komunikasi yang penting. Pada zaman sejarah, bahasa tulisan menjadi alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.Melalui tulisan, ide-ide dan pikiran manusia dapat dikomunikasikan secara langsung atau tidak langsung kepada generasi penerus.
Pada awalnya, tradisi tulisan berkembang di lingkungan istana untuk mencatat peristiwa-peristiwa penting dalam kerajaan, surat-menyurat kerajaan, peraturan dan perintah raja serta penulisan karya sastra.
Contoh peninggalan sejarah sebagai bukti munculnya tradisi tulisan di istana adalah prasasti atau inskripsi dan karya sastra.
Prasasti
Prasasti adalah tulisan yang dipahatkan pada batu berisi catatan suatu peristiwa penting kerajaan. Salah satu fungsi prasasti adalah memberikan peringatan atau suatu peristiwa penting kepada generasi berikutnya.Contoh tradisi penulsan prasasti yang berkembang pada masa Hindu-Buddha adalah Prasasti Tarumanegara.
Contoh lainnya adalah inskripsi pada Prasasti Kota Kapur (zaman Sriwijaya abad ke-7) yang ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti berperan penting dalam menggambarkan sumbangan kerajaan di bidang keagamaan.
Prasasti yang ditemukan di Indonesia, umumnya menggunakan berbagai bahasa, misalnya : Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Melayu Kuno, dan Bahasa Bali Kuno.
Karya Sastra
Semenjak bangsa Indonesia mengenal tulisan maka seni sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sayangnya, tidak semua hasil karya sastra tersebut tetap awet.Hal tersebut disebabkan buku-buku dipakai untuk menuliskan karya-karya sastra tersebut masih terbuat dari bahan-bahan yang mudah rusak.
Sebelum ditemukan kertas, masyarakat zaman kuno telah terbiasa menuliskan catatan penting atau karya sastra mereka pada daun lontar atau kropak yang tidak tahan lama dan cepat rusak.
Di samping itu, perubahan politik, peperangan, hancurnya istana, dan kurangnya perhatan akan nilai-nilai kebudayaan tradisional ikut mempercepat proses hilangnya hasil-hasil kesusastraan kuno.
Keadaan tersebut terjadi pada abad ke-7 dan ke-8 di dua buah kerajaan besar, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Mataram di Jawa Tengah.
Adapun karya-karya sastra zaman Hindu yang telah dibukukan adalah karya-karya sastra yang berasal dari masa Kediri sampai Majapahit (abad ke-11 sampai dengan abad ke-16). Pada rentang waktu tersebut, tradisi penulisan karya-karya sastra berkembang sangat pesat.
Pada masa tersebut, Keraton memang menghasilkan banyak pujangga yang menulis karya sastra. Keadaan itu mencapai puncaknya pada masa Kediri (abad ke-11 sampai ke-12).
Di kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah, naskah karya sastra yang ditulis pada daun lontar disebut kesusastraan Parwa.
2. Tradisi Tulis di Luar Istana
Tradisi Tulis di Luar Istana Indonesia memiliki keragaman budaya di berbagai daerah. Indonesia memilik beratus-ratus bahasa daerah yang memiliki aksara dan tradisi naskah yang berbeda.Salah satunya adalah kekayaan khazanah tradisi tulis yang berkembang di berbagai daerah. Tradisi tulis naskah rakyat tersebut sebagian besar berkembang di daerah yang tidak berada di bawah kekuasaan kerajaan.
Naskah-naskah warisan leluhur tersebut ditulis dengan berbagai aksara dan media. Naskah-naskah kuno tersebut berisi ajaran keagamaan, filsafat, kesusastraan, puisi, drama, sejarah, dan perjanjian hukum.
Naskah-naskah tersebut ditulis menggunakan berbagai huruf. Misalnya, huruf pallawa, huruf Kawi, huruf Jawa, huruf Sumatera Selatan, huruf Sunda kuno, huruf Melayu kuno, huruf sunda Jawa, huruf Batak, huruf Arab gundul, dan huruf Makassar.
Meskipun di beberapa daerah tradisi naskah tradisional telah punah, namun tradisi itu tetap dilestarikan di Bali dan Sulawesi Selatan hingga saat ini. Berikut berbagai tradisi tulis di berbagai daerah di Indonesia.
Tradisi Tulis di Bali
Tradisi tulis di Bali bersumber dari tradisi tulis istana dan prasasti, batu serta lempeng tembaga. Dalam perkembangannya, naskah kesusastraan Bali ditulis pada daun lontar.Tradisi tulis Bali dipengaruhi tradisi tulis masa Kerajaan Majapahit di Jawa. Syair dan prosa mengenai agama dan sejarah yang ditulis di Jawa dialihkan ke Bali pada abad ke-10 sampai abad ke-16.
Sampai abad ke-16 kesusastraan Bali didasarkan atas cerita Ramayana dan Mahabharata. Karya-karya tersebut masih disaln dan dibacakan pada acara mabasan hingga saat ini.
Mulai abad ke-16 diciptakan berbagai naskah bertema keindahan alam, persatuan dengan dewa, perbintangan, pengobatan, penanggalan, silsilah, mantra, syair, dan kisah-kisah keagamaan. Kisah-kisah tersebut ditulis dalam bentuk kidung (nyanyian), geguritan (puisi) dan parikan (pantun).
Di Bali, setiap naskah memiliki dewi pelindung, yaitu Dewi Saraswati (dewi pengetahuan). Setiap hari raya Saraswati (puja Saraswati), semua naskah akan dibersihkan dengan air suci oleh pedanda yang memimpin upacara.
Tradisi Tulis di Sumatera Selatan
Naskah di Sumatera Selatan ditulis di atas kulit kayu, bambu, batang rotan, lempeng tembaga, kertas, dan tanduk kerbau. Huruf yang dipakai pada tradisi tulis di Sumatera Selatan adalah aksara Kerinci, aksara rencong Rejang, dan aksara Lampung.Naskah tertua dari Sumatera Selatan ditulis menggunakan huruf Lampung pada tahun 1630. Saat ini naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Bodleian di Universitas Oxford, Inggris.
Menurut Petrus Voorhoeve, huruf Sumatera Selatan dipengaruhi oleh aksara Jawa. Namun, huruf Jawa tersebut sudah disesuaikan dengan media penulisan naskah.
Huruf Jawa yang cenderung menggunakan garis melengkung diganti menjadi bentuk bersudut. Hal ini disebabkan adanya penyesuaian dengan media tulis berupa bambu dan tanduk.
Tema naskah Sumatera Selatan adalah cerita kepahlawanan, perjanjian hukum, pantun, silsilah, syair mistik Islam, mantra-mantra, syair cinta, dan pengobatan tradisional. Misalnya, teks Saribu Maksa (Buku Seribu Pertanyaan) dan syair cinta gelumpai.
Tradisi Tulis di Jawa Barat
Naskah di Jawa Barat ditulis di atas daun palem, bambu, dan kertas. Huruf yang dipakai pada tradisi di Sunda adalah aksara Sunda kuno, aksara Sunda Jawa (Cacarakan), Arab gundul, dan aksara latin.Huruf Sunda Kuno ditemukan pada naskah yang ditulis sebelum abad ke-18. Naskah berhuruf Sunda Jawa mulai digunakan sekitar akhir abad ke-17.
Huruf Arab gundul dipakai pada naskah yang ditulis pada awal abad ke-18. Naskah berhuruf latin mulai ditulis pada akhir abad ke-19.
Naskah tertua dari Sunda ditulis pada abad ke-15 dan abad ke-16. Naskah-naskah tersebut disimpan di Kabuyutan, yaitu pusat kegiatan agama yang menjadi pusat kegiatan intelektual.
Naskah-naskah tersebt antara lain Kunjarakarna, Sanghiyang Hayu, Sanghiyang Siksakandang Karesian, Amanat dari Galunggung, Sewaka Darma, Carita Parahiyangan, Bujangga Manik, dan Pantun Ramayana.
Setelah agama Islam masuk, berkembang tradisi tulis naskah dalam bahasa Arab gundul. Misalnya, dalam Carita Parahiyangan. Selain itu, terdapat naskah-naskah adaptasi dari karya sastra Melayu.
Misalnya Carita Perang Istambul dan Wawacan Ningrum Kusumah. Wawacan adalah cerita dalam bentuk syair yang dinyanyikan pada acara tertentu.
Pada abad ke-19 mulai ditulis berbagai cerita rakyat tradisional. Hal itu didorong oleh kebijaksanaan pemerintah Belanda untuk memelihara tradisi tulis Sunda.
Caranya dengan penggunaan bahasa Sunda menjadi bahasa tulisan. Beberapa cerita rakyat yang ditulis dalam bentuk naskah adalah Manggung Kusuma, Mundinglaya di Kusuma, Mundingsari Jayamantri, Ciung Wanara, dan Lutung Kasarung.
Tradisi Tulis di Sulawesi Selatan
Tradisi tulis naskah berkembang dengan pesat di Sulawesi Selatan setelah adanya budaya tulis. Misalnya, di kalangan suku Mandar, Bugis, dan Makassar.Setiap suku di Sulawesi Selatan memiliki ragam kesusastraan yang lengkap karena memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda-beda.
Aksara yang dipakai pada tradisi tulis Sulawesi Selatan adalah aksaa Makassa, aksara Bugis, aksara Arab, dan aksara Latin. Di kalangan suku Mandar berkembang tiga tradisi tulis, yaitu pappasang, kalindaqdaq, dan tilapayo.
Pappasang adalah tulisan mengenai nilai-nilai adat istiadat setempat. Kalindaqdaq adalah kumpulan syair empat baris. Tilapayo adalah lagu cinta tradisional.
Tradisi tulis suku Makassar berisi catatan-catatan sejarah Kerajaan Goa, Makassar dan Talo. Catatan sejarah itu disebut patturioloang.
Selain itu, terdapat tradisi tulis lontaraq bilang (catatan harian), rapang (tulisan tentang peraturan adat), rupama (kisah-kisah yang lucu dan menghibur), nyanyian upacara keagamaan, buku hukum, legenda, silsilah, cerita pendek, elong (syair pendek), dan sinrilig (epos kepahlawanan setempat).
Tradisi tulis Makassar telah berkembang dengan sangat maju. Hal itu ditunjukkan dengan adanya sebuah naskah terpanjang di dunia, yaitu epos I La Galigo.
Menurut Robert Wilson, I La Galigo dianggap sebagai kesusastraan terbaik di dunia. Naskah epos kepahlawanan setebal 6.000 halaman tersebut berisi kisah di Kerajaan Luwu pada masa pra-islam.
Tulisan I La Galigo sangat mengedepankan objektivitas dan fakta sejarah. Pada saat ini, naskah I La Galigo tersebut telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Tradisi tulis Makassar lainnya adalah ottoriolong (kronik sejarah), lontaraq bilang (catatan harian), dan toloq (syair sejarah kepahlawanan).
Di Makassar banyak ditulis teks keagamaan dengan mengambil cerita dari Al-Quran. Salah satunya adalah teks tentang ahli sufi abad ke-17, Syekh Yusuf.