Pengertian Kritik dan Esai beserta Contohnya - Berikut ini adalah artikel yang akan membahas tentang pengertian esai, pengertian kritik, ciri-ciri esai, ciri-ciri kritik, Contoh esai sastra, Contoh kritik sastra.
Anda tentu telah sering mendengar kata kritik, mengritik, atau dikritik. Mengritik dalam pengertian sehari-hari adalah mengecam, mencela, dan sejenisnya.
Dalam pembelajaran ini yang dimaksud kritik adalah kecaman atau tanggapan yang disertai pertimbangan baik dan buruk terhadap suatu hasil karya dalam hal ini karya sastra. Kritik demikian biasa disebut kritik sastra.
Agar dapat menyusun kritik dengan baik, seseorang harus memahami dan mendalami sastra dan teori sastra. Kedua hal tersebut dapat diraih dengan rajin membaca.
Sementara itu, esai (essay) adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi pengarangnya.
Apa yang membedakan kritik dan esai dari karya-karya lain? Tentunya masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri.
Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Apabila hal tersebut tercabut dari akar kehidupan manusia, menusia tidak lebih dari sekadar hewan berakal.
Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan. Sayangnya, untuk kita, bangsa Indonesia, sastra dan kesenian nyatanya kian terpinggirkan dari kehidupan berbangsa. Padahal, kita adalah bangsa yang berbudaya.
Dalam dunia pendidikan sastra dianggap hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan sebagainya hanya karena mereka ”terpaksa” atau mungkin ”dipaksa” menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran, yang mereka khawatirkan muncul ketika ujian.
Akibatnya bagi siswa, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, ujian, dan selesai. Metodenya hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Sehingga, minat terhadap dunia sastra benar-benar tidak terlintas di benak kebanyakan generasi kita.
Fenomena semacam itu semakin parah melanda generasi muda di daerah-daerah, terutama daerah pedalaman. Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri, itu juga melanda generasi muda di perkotaan.
Beberapa waktu lalu penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang guru bahasa Indonesia sebuah sekolah favorit di Pamekasan, Madura, di sebuah warung kopi sebelah rumah. Iseng-iseng, penulis bertanya tentang perkembangan sastra siswasiswinya.
Dan jawabannya sungguh mengejutkan, ”Yah, menurut saya, yang terpenting bagi mereka adalah mampu menjawab soal-soal UAN yang berkenaan dengan sastra. Sebab, malu rasanya jika nilai bahasa Indonesia jeblok.” Sangat ironis jawaban seperti itu.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah pembicaraan saya dengan guru bahasa Indonesia itu, terjadi peristiwa yang mengejutkan di Pamekasan. Ada tawuran antarpelajar atau tepatnya tawuran antarkelas yang dilakukan oleh beberapa siswa dari sekolah terfavorit di Pamekasan.
Namun, entah karena apa, peristiwa ini tidak diekspos oleh media massa, koran lokal sekalipun. Padahal, dalam tawuran itu dua orang siswa harus dirawat intensif di RSUD Pamekasan. Tentu saja, terjadinya tawuran tersebut, kesalahan tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada siswa.
Sekolah pun mestinya memiliki tanggung jawab penuh untuk merefleksi diri mengapa tawuran antarpelajar sering terjadi akhir-akhir ini. Sebab, ada kemungkinan kesalahan dalam mendidik dan memberikan metode pendidikan. Dan salah satunya jelas karena kurangnya pengayaan terhadap sastra.
Sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan, akan mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab.
Tentu akan lain ceritanya jika sekolah lebih mengembangkan sastra kepada siswasiswinya. Ambil contoh kecil, misalnya pengembangan berpuisi.
Selain keseimbangan olah jiwa, kepekaan terhadap lingkungan yang memiliki unsur-unsur keindahan, siswa akan semakin mengerti tentang hakikat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Jiwa kemanusiaan semakin tebal, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam diri manusia akan tenggelam dengan sendirinya. Sebab, jarang sekali puisi dan kekerasan tampil dalam tubuh kalimat
yang sama.
Terkait dengan itu, beberapa hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa ternyata berpuisi sebagai salah satu bagian dari sastra selain mampu memanajemen stress, yang notabene pemicu dari lahirnya tindak kekerasan, juga memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan (Hendrawan Nadesul, Kompas, 23/07/04).
Maka, tidak bisa lagi kita mengelak dengan mengatakan bahwa sastra hanyalah permainan kata-kata. Kata-kata yang dibolak-balik, diakrobatkan, diliuk-liukan di udara imajinasi agar terkesan wah, indah, dan bersahaja bagi siapa saja yang membacanya.
Sebab, ternyata dari hasil penelitian di atas, sastra mampu menduduki posisi sebagai terapi alternatif terhadap beberapa penyakit. Sehingga, menjadi wajar bahwa penulis di sini sangat menekankan untuk sekolahsekolah terus-menerus memberikan waktu yang lebih banyak pada siswanya untuk melatih
imajinasi melalui karya-karya sastra baik itu puisi, cerpen, teater, maupun drama.
Sebab, selain untuk memupuk minat terhadap sastra dan mengembangkan imajinasinya sebagai
penunjang pengetahuan yang lainnya, diharapkan juga nantinya mampu melahirkan para budayawan dan sastrawan terkenal sebagai pengganti ”pendekar” sastra pilih tanding yang tidak produktif lagi karena usia dan satu per satu telah meninggalkan kita.
Sebut saja Hamid Jabbar, Mochtar Lubis, dan Pramudya Ananta Toer. Caranya adalah sekolah harus membuka lowongan pekerjaan untuk seniman-seniman profesional yang cenderung urakan di mata masyarakat untuk menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengganti dari guru bahasa Indonesia lulusan universitas yang selalu terikat dengan kurikulum sehingga kebanyakan dari mereka tidak mampu mengembangkan minat sastra pada siswa-siswinya.
Bisa juga dengan memberikan waktu khusus untuk para seniman, sastrawan muda berbakat untuk memberikan pelajaran sastra.
Nah, kalau tidak segera digagas mulai sekarang, kapan lagi kita akan mampu melestarikan kesastraan kita yang besar dan unik itu, serta siapa yang akan menggantikan generasi tua?
Diterbitkannya kumpulan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa (1997) menandai kebangkitan kembali fiksi Islam Indonesia, setelah beberapa dekade terakhir meredup. Sejarah mencatat fiksi Islam Indonesia telah berkembang sejak abad ke-18, antara lain, dengan munculnya Tajussalatin karya Hamzah Fansuri dan Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniri.
Sejak tahun 1997 karya fiksi Islam kembali membumi. Sederetan penulis dan karyanya berhasil mendulang prestasi besar. Di antara penulis tersebut adalah Fahri Asiza, Gola Gong, Jazimah al Muhyi, dan Asma Nadia. Salah satu karya Asma Nadia, penulis fiksi Islam yang pernah meraih penghargaan Adikarya IKAPI 2001, adalah cerpen Cerita Tiga Hari, yang termuat dalam antologi cerpen Meminang Bidadari (FBA Press, Maret 2005).
Banyak pesan moral dan nilai religius yang diangkat dalam kumpulan cerpen ini. Termasuk dalam Cerita Tiga Hari yang mengisahkan kebahagiaan satu keluarga. Cerita yang dikisahkan hanya tiga hari. Hari pertama, menceritakan saat suami berangkat kerja.
Kepergiannya diiringi tatap istri dan kedua anaknya penuh bahagia. Hari kedua, menceritakan saat suami pulang kerja sampai makan malam. Hal ketiga, menceritakan saat suami bekerja.
Ia digoda seorang wanita cantik yang menumpang di kendaraannya. Adapun pesan moral yang terdapat dalam cerpen ini adalah peran cinta dan rumah tangga penuh kasih, yang dapat menyingkirkan besarnya godaan terhadap para suami di luar rumah, saat mereka bekerja.
Terlepas dari misi agung yang diemban pengarang, apabila kita membaca dengan memposisikan diri sebagai pembaca perempuan (reading as a women), sebagaimana yang dinyatakan Jonathan Culler, yaitu adanya kesadaran bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan, budaya, termasuk sastra, kita akan menemukan adanya gender inekualities atau ketidakadilan gender dalam cerpen ini.
Djajanegara mengemukakan, ketidakadilan gender tersebut di antaranya dapat dilihat dari peran dan karakter tokoh. Cerita Tiga Hari mungkin merupakan potret realitas perempuan Indonesia, yang masih tertindas oleh dominasi laki-laki dengan ideologi patriarkinya.
Dalam cerpen tersebut masih terdapat pembagian peran, antara peran domestik/tradisional yang dilakukan oleh perempuan dengan peran publik yang dilakukan oleh laki-laki.
Istri dan dua anaknya mengantar sampai ke pintu. Wajah-wajah cerah itu yang setiap hari melepasnya pergi.... Istrinya menyuguhkan segelas teh manis hangat. Itulah petikan yang menunjukkan adanya peran domestik tokoh istri. Ia beraktivitas hanya dalam lingkungan rumah tangga, menangani masalah dapur, merawat dan membesarkan anak, dan mengurus rumah. Berbeda dengan tokoh suami, ia beraktivitas di wilayah publik, bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Perhatikan kutipan berikut.
Udara Jakarta yang panas, seharian bekerja mengitari ibu kota berhadapan dengan rupa-rupa manusia. Kehadiran tokoh istri tidak lebih hanya menjadi pelayan dan pelengkap kehidupan tokoh suami.
Pembedaan peran domestik dan peran tradisional tersebut jelas merugikan kaum perempuan, karena hal tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan seks atau jenis kelamin. Bukan merupakan kodrat seorang perempuan untuk mengurusi hal-hal domestik, laki-laki pun bisa melakukannya.
Perbedaan peran tersebut hanya merupakan masalah gender, yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat yang didominasi ideologi patriarki, demikian kata Mansour Fakih.
Selain peran domestik tersebut, perempuan dalam cerpen ini hanya dijadikan sebagai objek dalam percintaan. Lelaki yang dipanggil sayang itu tersenyum. Mengecup kening, dan dua pipi istrinya .... Lalu sun sayang di kening, dan pelukan istri yang menyambutnya.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kehadiran tokoh istri hanya menjadi pemuas kebutuhan laki-laki, baik secara biologis maupun psikologis. Selain dalam peran tokoh, bias gender dalam cerpen ini dapat dikaji dalam penokohan. Sambutan hangat yang anehnya justru selalu mengalirkan hawa dingin di penat tubuhnya....
Jakarta panas, tapi pikiran tentang istri dan kedua anaknya yang menanti penuh cinta, menyejukkan perasaan. Kutipan tersebut menunjukkan adanya pencitraan tokoh perempuan dengan stereotipe lembut, sopan, menyenangkan, penuh kasih sayang, dan taat pada suami.
Tokoh perempuan juga dicitrakan sebagai makhluk yang lemah, perasa, dan patut untuk dikasihi. Citra tersebut melekat pada tokoh perempuan cantik yang menumpang mobil tokoh suami: Wajahnya yang basah dengan air mata, suara isak tertahan di balik sapu tangan yang menutupi sebagian rupanya. Betul-betul pemandangan yang mengibakan.
Selain lemah dan patut dikasihani, ia pun dicitrakan dengan karakter jalang, penggoda, dan amoral. Terlihat jelas ketika ia merayu tokoh suami: Tunggu dulu. Kenapa buru-buru. Mas gak suka dengan saya? Adanya bias gender dalam penokohan dapat dilihat dengan terang.
Karakter tokoh perempuan sangat berbeda dengan karakter tokoh laki-laki. Tokoh suami dicitrakan sebagai sosok yang jujur, soleh, bermoral tinggi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai religius: Perasaannya sendiri tidak enak berduaan di pinggir jalan yang sepi dengan wanita berpakaian minim ini.
Terdapatnya bias gender dalam cerpen ini menimbulkan pertanyaan besar di benak pembaca. Kenapa hal tersebut terjadi? Bukankah Nadia seorang perempuan? Yang seharusnya menjunjung nilai-nilai feminisme yang memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Seperti yang dilakukan oleh para penulis perempuan lainnya, seperti Fatima Mernissi, Nawalel Saadawi, Wardah Hafidz, dan Lies Marcoes Natsir.
Ataukah karena pengaruh ideologi Islam yang ia anut? Benarkah Islam menolak equal right’s movement? Adalah Mahmud Abu Syukkah, seorang penulis Kuwait yang mencoba menjelaskan hal ini. Menurutnya, dalam Islam semua manusia kedudukannya sama di sisi Tuhan, baik ia seorang laki-laki maupun perempuan.
Manusia yang paling baik adalah yang paling besar ketaatannya kepada-Nya. Bahkan, kalau kita memutar jarum sejarah sampai kehidupan abad ke-7, justru emansipasi perempuan dalam Islam sudah
terjadi pada masa itu. Ideologi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah mampu membebaskan kaum perempuan dari penindasan kultur Arab yang mendewakan laki-laki.
Menurut saya, paling tidak ada dua hal yang menyebabkan terjadinya gender bias dalam cerpen Cerita Tiga Hari itu. Pertama, karena Nadia terlalu terpaku pada pesan moral dan nilai-nilai religius yang akan disampaikan, sehingga karyanya terkesan kaku. Hal senada diungkapkan Rahmadianti (Majalah Annida).
Menurutnya, karya fiksi Islam yang sekarang sedang membumi terlalu mengedepankan misi dakwah, sehingga aspek estetikanya kurang tergarap dengan maksimal. Kedua, adanya miss-interpretasi terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Alquran dan Hadis, yang dijadikan sebagai landasan moral dan etis dalam menulis sebuah karya.
Dalam Alquran ada ayat yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Dalam Hadis ada yang menyatakan bahwa istri yang baik adalah yang taat kepada Tuhan dan taat kepada suami.
Kalau kita tidak memahami konteks sosial politik ketika kedua sumber hukum tersebut diturunkan, maka kita tidak akan mampu menemukan interpretasi yang tepat terhadap ayat dan hadis tersebut. Ketika penafsiran kurang tepat, maka dalam realisasinya pun akan terjadi penyimpangan.
Akhirnya, terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam cerpen Cerita Tiga Hari, sebuah karya fiksi Islam tidak cukup hanya memuat pesan moral yang baik dan nilai-nilai religius yang agung saja. Karena, ternyata kehadirannya kian mengukuhkan bangunan ideologi patriarki yang selama ini menindas kaum perempuan.
Bagaimana menulis kritik dan esai? Tentang menulis esai sudah dibahas dan Anda sudah mencobanya bukan?
Sementara itu, antara menulis kritik dan menulis esai sebenarnya tidak ada perbedaan yang berarti. Dalam mengkritik, usahakan memberi pendapat secara objektif dan seimbang (proporsional) dengan dasar-dasar yang logis dan berdasarkan teori sastra yang benar.
Pengertian Kritik dan Esai
Menerapkan prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai untuk mengomentari karya sastraAnda tentu telah sering mendengar kata kritik, mengritik, atau dikritik. Mengritik dalam pengertian sehari-hari adalah mengecam, mencela, dan sejenisnya.
Dalam pembelajaran ini yang dimaksud kritik adalah kecaman atau tanggapan yang disertai pertimbangan baik dan buruk terhadap suatu hasil karya dalam hal ini karya sastra. Kritik demikian biasa disebut kritik sastra.
Agar dapat menyusun kritik dengan baik, seseorang harus memahami dan mendalami sastra dan teori sastra. Kedua hal tersebut dapat diraih dengan rajin membaca.
Sementara itu, esai (essay) adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi pengarangnya.
Apa yang membedakan kritik dan esai dari karya-karya lain? Tentunya masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri.
Kritik dan esai memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Kritik
- bersifat menanggapi/mengomentari karya orang lain
- menunjukkan kelebihan dan kekurangan
- memberi saran perbaikan
- bertujuan menjembatani pemahaman pembaca/apresiator/apresian dengan karya sastra bersangkutan
Esai
- membahas suatu masalah secara sepintas sesuai pandangan atau pribadi pengarangnya
- pengembangan gagasan secara bebas variatif sesuai keinginan pengarangnya
- disajikan secara ringan dan santai
- bertujuan membahas suatu masalah secara ringan tanpa harus sampai pada penyelesaian secara tuntas
Contoh esai sastra
Pentingnya Sastra bagi Generasi Muda
Oleh Edy Firmansyah
Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama, proporsi, dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan. Apabila hal tersebut tercabut dari akar kehidupan manusia, menusia tidak lebih dari sekadar hewan berakal.
Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan. Sayangnya, untuk kita, bangsa Indonesia, sastra dan kesenian nyatanya kian terpinggirkan dari kehidupan berbangsa. Padahal, kita adalah bangsa yang berbudaya.
Dalam dunia pendidikan sastra dianggap hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan sebagainya hanya karena mereka ”terpaksa” atau mungkin ”dipaksa” menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran, yang mereka khawatirkan muncul ketika ujian.
Akibatnya bagi siswa, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, ujian, dan selesai. Metodenya hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Sehingga, minat terhadap dunia sastra benar-benar tidak terlintas di benak kebanyakan generasi kita.
Fenomena semacam itu semakin parah melanda generasi muda di daerah-daerah, terutama daerah pedalaman. Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri, itu juga melanda generasi muda di perkotaan.
Beberapa waktu lalu penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang guru bahasa Indonesia sebuah sekolah favorit di Pamekasan, Madura, di sebuah warung kopi sebelah rumah. Iseng-iseng, penulis bertanya tentang perkembangan sastra siswasiswinya.
Dan jawabannya sungguh mengejutkan, ”Yah, menurut saya, yang terpenting bagi mereka adalah mampu menjawab soal-soal UAN yang berkenaan dengan sastra. Sebab, malu rasanya jika nilai bahasa Indonesia jeblok.” Sangat ironis jawaban seperti itu.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah pembicaraan saya dengan guru bahasa Indonesia itu, terjadi peristiwa yang mengejutkan di Pamekasan. Ada tawuran antarpelajar atau tepatnya tawuran antarkelas yang dilakukan oleh beberapa siswa dari sekolah terfavorit di Pamekasan.
Namun, entah karena apa, peristiwa ini tidak diekspos oleh media massa, koran lokal sekalipun. Padahal, dalam tawuran itu dua orang siswa harus dirawat intensif di RSUD Pamekasan. Tentu saja, terjadinya tawuran tersebut, kesalahan tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada siswa.
Sekolah pun mestinya memiliki tanggung jawab penuh untuk merefleksi diri mengapa tawuran antarpelajar sering terjadi akhir-akhir ini. Sebab, ada kemungkinan kesalahan dalam mendidik dan memberikan metode pendidikan. Dan salah satunya jelas karena kurangnya pengayaan terhadap sastra.
Sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan, akan mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab.
Tentu akan lain ceritanya jika sekolah lebih mengembangkan sastra kepada siswasiswinya. Ambil contoh kecil, misalnya pengembangan berpuisi.
Selain keseimbangan olah jiwa, kepekaan terhadap lingkungan yang memiliki unsur-unsur keindahan, siswa akan semakin mengerti tentang hakikat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Jiwa kemanusiaan semakin tebal, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam diri manusia akan tenggelam dengan sendirinya. Sebab, jarang sekali puisi dan kekerasan tampil dalam tubuh kalimat
yang sama.
Terkait dengan itu, beberapa hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa ternyata berpuisi sebagai salah satu bagian dari sastra selain mampu memanajemen stress, yang notabene pemicu dari lahirnya tindak kekerasan, juga memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan (Hendrawan Nadesul, Kompas, 23/07/04).
Maka, tidak bisa lagi kita mengelak dengan mengatakan bahwa sastra hanyalah permainan kata-kata. Kata-kata yang dibolak-balik, diakrobatkan, diliuk-liukan di udara imajinasi agar terkesan wah, indah, dan bersahaja bagi siapa saja yang membacanya.
Sebab, ternyata dari hasil penelitian di atas, sastra mampu menduduki posisi sebagai terapi alternatif terhadap beberapa penyakit. Sehingga, menjadi wajar bahwa penulis di sini sangat menekankan untuk sekolahsekolah terus-menerus memberikan waktu yang lebih banyak pada siswanya untuk melatih
imajinasi melalui karya-karya sastra baik itu puisi, cerpen, teater, maupun drama.
Sebab, selain untuk memupuk minat terhadap sastra dan mengembangkan imajinasinya sebagai
penunjang pengetahuan yang lainnya, diharapkan juga nantinya mampu melahirkan para budayawan dan sastrawan terkenal sebagai pengganti ”pendekar” sastra pilih tanding yang tidak produktif lagi karena usia dan satu per satu telah meninggalkan kita.
Sebut saja Hamid Jabbar, Mochtar Lubis, dan Pramudya Ananta Toer. Caranya adalah sekolah harus membuka lowongan pekerjaan untuk seniman-seniman profesional yang cenderung urakan di mata masyarakat untuk menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengganti dari guru bahasa Indonesia lulusan universitas yang selalu terikat dengan kurikulum sehingga kebanyakan dari mereka tidak mampu mengembangkan minat sastra pada siswa-siswinya.
Bisa juga dengan memberikan waktu khusus untuk para seniman, sastrawan muda berbakat untuk memberikan pelajaran sastra.
Nah, kalau tidak segera digagas mulai sekarang, kapan lagi kita akan mampu melestarikan kesastraan kita yang besar dan unik itu, serta siapa yang akan menggantikan generasi tua?
Contoh kritik sastra
Ideologi Patriarki dalam Cerpen Asma Nadia
Ateng Hidayat Mahasiswa Sastra UPI Bandung
Sejak tahun 1997 karya fiksi Islam kembali membumi. Sederetan penulis dan karyanya berhasil mendulang prestasi besar. Di antara penulis tersebut adalah Fahri Asiza, Gola Gong, Jazimah al Muhyi, dan Asma Nadia. Salah satu karya Asma Nadia, penulis fiksi Islam yang pernah meraih penghargaan Adikarya IKAPI 2001, adalah cerpen Cerita Tiga Hari, yang termuat dalam antologi cerpen Meminang Bidadari (FBA Press, Maret 2005).
Banyak pesan moral dan nilai religius yang diangkat dalam kumpulan cerpen ini. Termasuk dalam Cerita Tiga Hari yang mengisahkan kebahagiaan satu keluarga. Cerita yang dikisahkan hanya tiga hari. Hari pertama, menceritakan saat suami berangkat kerja.
Kepergiannya diiringi tatap istri dan kedua anaknya penuh bahagia. Hari kedua, menceritakan saat suami pulang kerja sampai makan malam. Hal ketiga, menceritakan saat suami bekerja.
Ia digoda seorang wanita cantik yang menumpang di kendaraannya. Adapun pesan moral yang terdapat dalam cerpen ini adalah peran cinta dan rumah tangga penuh kasih, yang dapat menyingkirkan besarnya godaan terhadap para suami di luar rumah, saat mereka bekerja.
Terlepas dari misi agung yang diemban pengarang, apabila kita membaca dengan memposisikan diri sebagai pembaca perempuan (reading as a women), sebagaimana yang dinyatakan Jonathan Culler, yaitu adanya kesadaran bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan, budaya, termasuk sastra, kita akan menemukan adanya gender inekualities atau ketidakadilan gender dalam cerpen ini.
Djajanegara mengemukakan, ketidakadilan gender tersebut di antaranya dapat dilihat dari peran dan karakter tokoh. Cerita Tiga Hari mungkin merupakan potret realitas perempuan Indonesia, yang masih tertindas oleh dominasi laki-laki dengan ideologi patriarkinya.
Dalam cerpen tersebut masih terdapat pembagian peran, antara peran domestik/tradisional yang dilakukan oleh perempuan dengan peran publik yang dilakukan oleh laki-laki.
Istri dan dua anaknya mengantar sampai ke pintu. Wajah-wajah cerah itu yang setiap hari melepasnya pergi.... Istrinya menyuguhkan segelas teh manis hangat. Itulah petikan yang menunjukkan adanya peran domestik tokoh istri. Ia beraktivitas hanya dalam lingkungan rumah tangga, menangani masalah dapur, merawat dan membesarkan anak, dan mengurus rumah. Berbeda dengan tokoh suami, ia beraktivitas di wilayah publik, bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Perhatikan kutipan berikut.
Udara Jakarta yang panas, seharian bekerja mengitari ibu kota berhadapan dengan rupa-rupa manusia. Kehadiran tokoh istri tidak lebih hanya menjadi pelayan dan pelengkap kehidupan tokoh suami.
Pembedaan peran domestik dan peran tradisional tersebut jelas merugikan kaum perempuan, karena hal tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan seks atau jenis kelamin. Bukan merupakan kodrat seorang perempuan untuk mengurusi hal-hal domestik, laki-laki pun bisa melakukannya.
Perbedaan peran tersebut hanya merupakan masalah gender, yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat yang didominasi ideologi patriarki, demikian kata Mansour Fakih.
Selain peran domestik tersebut, perempuan dalam cerpen ini hanya dijadikan sebagai objek dalam percintaan. Lelaki yang dipanggil sayang itu tersenyum. Mengecup kening, dan dua pipi istrinya .... Lalu sun sayang di kening, dan pelukan istri yang menyambutnya.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kehadiran tokoh istri hanya menjadi pemuas kebutuhan laki-laki, baik secara biologis maupun psikologis. Selain dalam peran tokoh, bias gender dalam cerpen ini dapat dikaji dalam penokohan. Sambutan hangat yang anehnya justru selalu mengalirkan hawa dingin di penat tubuhnya....
Jakarta panas, tapi pikiran tentang istri dan kedua anaknya yang menanti penuh cinta, menyejukkan perasaan. Kutipan tersebut menunjukkan adanya pencitraan tokoh perempuan dengan stereotipe lembut, sopan, menyenangkan, penuh kasih sayang, dan taat pada suami.
Tokoh perempuan juga dicitrakan sebagai makhluk yang lemah, perasa, dan patut untuk dikasihi. Citra tersebut melekat pada tokoh perempuan cantik yang menumpang mobil tokoh suami: Wajahnya yang basah dengan air mata, suara isak tertahan di balik sapu tangan yang menutupi sebagian rupanya. Betul-betul pemandangan yang mengibakan.
Selain lemah dan patut dikasihani, ia pun dicitrakan dengan karakter jalang, penggoda, dan amoral. Terlihat jelas ketika ia merayu tokoh suami: Tunggu dulu. Kenapa buru-buru. Mas gak suka dengan saya? Adanya bias gender dalam penokohan dapat dilihat dengan terang.
Karakter tokoh perempuan sangat berbeda dengan karakter tokoh laki-laki. Tokoh suami dicitrakan sebagai sosok yang jujur, soleh, bermoral tinggi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai religius: Perasaannya sendiri tidak enak berduaan di pinggir jalan yang sepi dengan wanita berpakaian minim ini.
Terdapatnya bias gender dalam cerpen ini menimbulkan pertanyaan besar di benak pembaca. Kenapa hal tersebut terjadi? Bukankah Nadia seorang perempuan? Yang seharusnya menjunjung nilai-nilai feminisme yang memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Seperti yang dilakukan oleh para penulis perempuan lainnya, seperti Fatima Mernissi, Nawalel Saadawi, Wardah Hafidz, dan Lies Marcoes Natsir.
Ataukah karena pengaruh ideologi Islam yang ia anut? Benarkah Islam menolak equal right’s movement? Adalah Mahmud Abu Syukkah, seorang penulis Kuwait yang mencoba menjelaskan hal ini. Menurutnya, dalam Islam semua manusia kedudukannya sama di sisi Tuhan, baik ia seorang laki-laki maupun perempuan.
Manusia yang paling baik adalah yang paling besar ketaatannya kepada-Nya. Bahkan, kalau kita memutar jarum sejarah sampai kehidupan abad ke-7, justru emansipasi perempuan dalam Islam sudah
terjadi pada masa itu. Ideologi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah mampu membebaskan kaum perempuan dari penindasan kultur Arab yang mendewakan laki-laki.
Menurut saya, paling tidak ada dua hal yang menyebabkan terjadinya gender bias dalam cerpen Cerita Tiga Hari itu. Pertama, karena Nadia terlalu terpaku pada pesan moral dan nilai-nilai religius yang akan disampaikan, sehingga karyanya terkesan kaku. Hal senada diungkapkan Rahmadianti (Majalah Annida).
Menurutnya, karya fiksi Islam yang sekarang sedang membumi terlalu mengedepankan misi dakwah, sehingga aspek estetikanya kurang tergarap dengan maksimal. Kedua, adanya miss-interpretasi terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Alquran dan Hadis, yang dijadikan sebagai landasan moral dan etis dalam menulis sebuah karya.
Dalam Alquran ada ayat yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Dalam Hadis ada yang menyatakan bahwa istri yang baik adalah yang taat kepada Tuhan dan taat kepada suami.
Kalau kita tidak memahami konteks sosial politik ketika kedua sumber hukum tersebut diturunkan, maka kita tidak akan mampu menemukan interpretasi yang tepat terhadap ayat dan hadis tersebut. Ketika penafsiran kurang tepat, maka dalam realisasinya pun akan terjadi penyimpangan.
Akhirnya, terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam cerpen Cerita Tiga Hari, sebuah karya fiksi Islam tidak cukup hanya memuat pesan moral yang baik dan nilai-nilai religius yang agung saja. Karena, ternyata kehadirannya kian mengukuhkan bangunan ideologi patriarki yang selama ini menindas kaum perempuan.
Republika, 11 Februari 2007
Bagaimana menulis kritik dan esai? Tentang menulis esai sudah dibahas dan Anda sudah mencobanya bukan?
Sementara itu, antara menulis kritik dan menulis esai sebenarnya tidak ada perbedaan yang berarti. Dalam mengkritik, usahakan memberi pendapat secara objektif dan seimbang (proporsional) dengan dasar-dasar yang logis dan berdasarkan teori sastra yang benar.